Thursday, May 14, 2020

ASAL USUL HURUF JAWA

Alkisah  ada seorang pemuda sakti dari Majethi bernama Aji Saka yang mempunyai 2 orang abdi setia bernama Dora dan Sembada. 

Pada suatu ketika pemuda ini mendapat berita bahwa nun jauh di sana terdapat sebuah kerajaan bernama Medhangkamulan yang diperintah oleh raja yang lalim bernama Prabu Dewata Cengkar. Raja ini sangat kejam dan gemar memakan daging manusia, seluruh rakyatnya dilanda ketakutan.

Aji Saka kemudian ke pergi ke Medhangkamulan untuk menghentikan kelaliman Prabu Dewata Cengkar. Dalam perjalanan ini ia mengajak Dora pergi bersamanya.

Sebelum pergi ia menitipkan sebuah keris pusaka kepada Sembada, dan berpesan agar menjaganya dan tidak memberikan kepada siapapun selain dirinya.

Ketika sampai di Medhangkamulan, Aji Saka menghadap raja yang lalim itu dan menyatakan diri bersedia menjadi santapannya, asalkan ia diberi tanah seluas sorban yang dipakainya. 
Prabu Dewata Cengkar menyetujui hal itu.

Maka Aji Saka pun melepaskan sorbannya dan memegang salah satu ujung kain tersebut sedangkan ujung yang lain dipegang oleh Prabu Dewata Cengkar. 

Raja yang lalim ini mencoba mengurai gulungan sorban tersebut dan menariknya mundur ke belakang. Namun tak disangkanya ternyata sorban yang dipakai tersebut panjang sekali.

Prabu Dewata Cengkar terus mengurai dan menariknya mundur sorban Aji Saka. Hingga tanpa disadari ia telah berada di pinggir jurang pantai laut Selatan.  Dan ia pun jatuh masuk ke dalam samudera dan berubah menjadi Buaya Putih.

Setelah mengalahkan Prabu Dewata Cengkar dan tinggal di Medhangkamulan, Aji Saka teringat akan pusaka miliknya yang dititipkan pada abdinya Sembada. Maka ia kemudian mengutus Dora untuk mengambil dan membawanya ke Medhangkamulan.

Dora pun berangkat ke Majethi untuk melaksanakan tugas dari tuannya. Sesampain di sana ia menyampaikan pesan dari Aji Saka kepada Sembada. 

Mendengar penuturan Dora tersebut, Sembada menolak menyerahkan keris pusaka milik Aji Saka sebab ia teringat pesan bahwa keris itu tidak boleh diberikan kepada yang lain selain Aji Saka sendiri. 

Akhirnya kedua abdi itu bertengkar dan berkelahi sama - sama demi melaksanakan tugas dari Aji Saka. Mereka berdua ternyata sama kuatnya, hingga akhirnya tewas dalam perkelahian itu.

Sementara itu di Medhangkamulan, Aji Saka yang merasa sudah terlalu lama menunggu kembalinya Dora, memutuskan kembali ke Majethi untuk mengambil sendiri pusaka miliknya.

Namun sesampainya di sana, yang ia dapati adalah mayat kedua abdi setianya Dora dan Sembada.

Betapa menyesal Aji Saka mendapati hal ini. Untuk mengenang kesetiaan dan pengorbanan kedua abdinya tersebut, ia mengarang syair berikut:

Ha Na Ca Ra Ka 
Da Ta Sa Wa La 
Pa Dha Ja Ya Nya
Ma Ga Ba Tha Nga 

Kalau diuraikan kurang lebih makna syair tersebut adalah :
ha na ca ra kan (ada utusan)
da ta sa wa la (timbul perselisihan)
pa da sa wa la (sama kuatnya)
ma ga ba tha nga (semua tewas)

Syair karangan Aji Saka inilah yang kemudian menjadi huruf- huruf dalam tulisan Jawa.

Kisah ini mungkin hanya sebuah dongeng atau mitos belaka, namun jika kita sejenak merenungkannya maka ada suatu ajaran yang sangat dalam di baliknya. Secara tidak langsung syair Ha Na Ca Ra Ka tersebut mengingatkan kita agar bijak dalam mengambil sebuah keputusan. Hal - hal yang seharusnya baik dapat berakhir menjadi sebuah bencana jika tidak dipertimbangkan dengan matang.

Terlepas dari kebenaran dongeng di atas dengan menyimak cara perangkaian huruf menjadi sebuah cerita yang sarat dengan ajaran moral (Dibanding huruf bahasa lain yang hanya merupakan simbol bunyi), saya kagum kepada siapapun yang mengarang / menciptakan rangkaian aksara ini 😉

JOEL-2020

No comments:

Post a Comment